Episode Bara:
“namaku Daun Dini Putri Pertiwi…tapi aku biasa di panggil Dini”
Begitu yang kuingat saat perjumpaan kami dulu. Saat itu aku cuma seorang bocah laki-laki 5 tahun yang sedang menangis di pojok warung karena es krim yang kumakan tumpah tertabrak seorang bocah yang badannya lebih besar dari aku. Tiba-tiba sebuah tangan mungil menyentuh bahuku, dan menyodorkan es krim yang belum dimakannya.
“ini makanlah…aku masih punya yang lain” ujar seorang gadis mungil berkuncir dua dengan pita kuning di kepalanya.
“terimakasih…” jawabku sambil mengambil es krim dari tangannya.
“namaku Daun Dini Putri Pertiwi…tapi aku biasa di panggil Dini” ujarnya lagi sambil mengulurkan tangannya padaku.
“aku Ichiki Bara Yudhistira…aku mau memanggilmu Daun saja, boleh ?” jawabku sambil membalas uluran tangannya. Gadis itu pun mengangguk setuju dan tersenyum, kami pun melanjutkan makan es krim berdua sambil tetap berpegangan tangan dan sesekali tersenyum satu sama lain.
Sejak itu kami berdua berteman, meski hanya berbeda usia. Daun begitu aku menyebutnya memang lebih muda setahun dari aku, namun dia tak pernah minder untuk berteman denganku. Kami berdua berangkat ke sekolah bersama, pulang bersama, dan akhirnya karena pada awal tahun ajaran sekolah menengah pertama kami ternyata masuk dalam kelas yang sama, Daun pun memilih untuk semeja dengan aku.
Rumahku dan rumahnya hampir berdekatan, yang membuat rumah kami agak terpisah hanyalah sebuah rumah tua tak berpenghuni dengan pekarangannya yang luas yang sering di pakai oleh anak-anak sebaya kami bermain bola dan semacamnya. Bahkan pekarangan itu sering juga digunakan untuk penyelenggaraan Hari Kemerdekaan di kampung kami.
Aku dan Daun sering bermain di dalam rumahnya, meski tua dan tak berpenghuni. Rumah itu sering di pakai warga untuk sesekali jika ada bencana banjir di kampung kami. Kebetulan rumahku, rumah Daun dan rumah tua itu berada di dataran yang agak lebih tinggi sehingga daerah kami sering di gunakan warga yang berada di dataran rendah untuk mengungsi. Saat kami menginjak tahun terakhir sekolah menengah aku dan Daun lebih sering memakainya untuk mengerjakan tugas bersama
Semua orang tahu kalau Daun hanya tinggal dengan ibunya. Menurut beberapa tetangga, ayah Daun bunuh diri dan meninggalkan Daun berdua ibunya dengan tuntutan hutang yang tidak sedikit, itu sebabnya rumah mereka di daerah perkotaan dijual dan mereka pindah ke kampung ini. Sementara aku, hanya tinggal bertiga dengan ibu dan kakak laki-lakiku yang sudah bekerja di sebuah pabrik kayu. Ibuku adalah seorang janda yang ditinggalkan ayahku karena menikah lagi. Mungkin karena merasa senasib ditinggal sosok ayah, aku dan Daun menjadi dekat.
“aku akan melanjutkan sekolah ke arsitektur, aku suka dengan konstruksi rumah ini. Membuatku nyaman… “ jawabku sambil terus menyelesaikan tugas Fisikaku.
“kalau begitu aku juga akan melanjutkan sekolah…” jawabnya. Aku menatapnya, tapi ternyata dia tetap asyik dengan bukunya.
“kau akan sekolah kemana?...” aku balik bertanya.
“yang pasti aku akan melanjutkan sekolah, yang dekat denganmu. Karena aku kan harus melindungimu” jawabnya sambil tersenyum dan melihat padaku. Mendengar jawaban Daun, mau tak mau aku ikut tersenyum. Betul, tinggi badanku tidak membuatku menjadi anak yang disegani teman-teman. Bahkan, predikat cengeng menempel erat dengan namaku. Sebaliknya Daun, yang perempuan lebih sering di sebut preman, karena sifatnya yang tangguh dan tidak gentar menghadapi siapapun. Bahkan sering beberapakali, Daun berkelahi dengan beberapa anak kampung hanya karena membela kepentinganku.
Aku sebenarnya bisa melawan, sesekali aku pun berkelahi. Namun, dengan adanya Daun perkelahian kami dengan anak-anak kampung, lebih sering menang dibandingkan jika aku berkelahi sendiri.
“Baiklah Daun, aku akan butuh sekali pengawalanmu….” ujarku menimpali alasannya. Kami berdua bersitatap dan akhirnya tertawa bersama
Ibuku khususnya dia menginginkan aku untuk terus sekolah karena dia tahu impianku yang ingin menjadi seorang arsitek. Meski kami tidak cukup berada, tapi aku tahu Ibu dan Kakak sering menyisihkan uang penghasilan mereka untuk biaya sekolahku, aku pun tidak mau kalah dengan mereka. Kemampuanku membantu beberapa orang tua teman membetulkan rumah mereka sesekali menjadi ladang penghasilan untukku. Memang tidak seberapa, tapi lumayan untuk sekedar menambah simpanan kuliahku.
Pada tengah tahun kedua perkuliahanku, aku mengenalkan seorang gadis pada Daun. Arumi namanya, seorang gadis yang sangat cantik, meski memang senyumnya tidak semanis senyum Daun. Tapi, aku menyukainya. Arumi adalah gadis ketiga yang kukenalkan pada Daun, dan gadis pertama yang kupacari di masa perkuliahan. Dua gadis sebelumnya adalah gadis yang kupacari di masa SMA. Ketika kuperkenalkan Arumi padanya, awalnya aku merasa tak ada yang berubah dengan Daun. Namun, lama kelamaan perilaku Daun berubah padaku.
“Arumi tidak baik untukmu ki,…” ucap Daun tiba-tiba padaku saat kami sedang bertemu di kantin kampus.
“Maksudmu?...” aku balik bertanya.
“dia hanya memanfaatkanmu, percayalah padaku…” jawab Daun sambil meminum teh manisnya.
“kamu bercanda kan?....kamu baru bertemu dia cuma 3 kali, dan kamu sudah berani bilang kalau Arumi tidak baik untukku?”
“aku hanya menggunakan naluriku sebagai temanmu, tidak lebih. Dan aku cuma menyampaikan apa yang kata hatiku bilang…”
“kita memang berteman Daun, tapi kamu tidak berhak apa pun dengan kehidupan pribadiku. Arumi adalah pacarku titik….dan kamu tidak berhak untuk menentukan dia baik atau tidak untukku…” jawabku tersinggung dengan ucapannya.
“aku melihatnya dengan lelaki lain sedang berciuman….” jawab Daun tiba-tiba padaku sambil memegangi lenganku saat aku hendak beranjak meninggalkannya. Seketika aku tersentak dan terdiam mencerna apa yang dikatakannya. Aku menoleh padanya, dia memandangiku dengan pandangan yang sungguh-sungguh.
“kau pasti salah…” bantahku.
“awalnya kupikir salah, tapi setelah kulihat sekali lagi…., itu Arumi, ki. Aku yakin”
“kamu pasti berbohong…Daun”
“kenapa kamu yakin aku yang membohongimu?...kita berteman sudah lama….dan kau malah membela Arumi yang baru kau kenal 4 bulan?...dia memanfaatkan kamu ki,….sadarlah” Daun kembali berargumen.
“ini hidupku Daun…..dan kamu tidak usah ikut campur dengan hidupku….”jawabku lagi sambil beranjak meninggalkannya. Dari jauh kudengar Daun meneriaki aku.
“Fine…!,….tapi jangan meratap ke aku seperti waktu es em a…kalau omonganku ternyata terbukti benar!!” sahut Daun, namun aku tak menoleh, dan aku pun tak ambil peduli dengan omongannya. Aku terus berjalan menuju ruangan fakultasku. Dan itu adalah pertengkaran pertama kami yang paling hebat.
“Mas,…mas…pengantinnya mau memasuki ruangan akad” tegur seorang ibu padaku, membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menoleh padanya, dan dia menunjuk ke ujung dimana kulihat seorang gadis berdiri dengan anggun dan cantik. Semua yang hadir di situ sudah berdiri, dan aku pun akhirnya terpaksa berdiri.
Perlahan rombongan berjalan pelan melewati aku, gadis pengantin itu melihat padaku dan tersenyum memberikan senyumannya yang paling cantik dan paling membuat hatiku miris.
“thank you…” ucapnya pelan padaku saat gadis itu melewati aku yang sedang berdiri. Aku tak bisa menjawab apa-apa, hanya bisa tersenyum sebisa hatiku mengijinkannya. Kurasakan berat di dadaku belum hilang untuk melepasnya, karena ternyata satu-satunya gadis yang kusayangi dan tanpa kusadari aku sudah jatuh cinta padanya, akan menikahi seorang pria lain. Saat gadis itu perlahan berjalan menuju calon suaminya, tanganku masih menggenggam telepon genggamku yang masih bertuliskan sebuah pesan. Pesan yang belum terhapus dari seorang teman, gadis yang kini akan bersanding dengan yang lain….
“Ichiki,…kuharap kau sudah tidak marah padaku. Aku mengharapkan kehadiranmu di acara pernikahanku. Hari Minggu ini…datang yaah…bagaimanapun kita pernah menjadi teman. Dan kau adalah satu-satunya sahabat terbaikku yang sangat kusayang….kutunggu. Daun”
“namaku Daun Dini Putri Pertiwi…tapi aku biasa di panggil Dini”
Begitu yang kuingat saat perjumpaan kami dulu. Saat itu aku cuma seorang bocah laki-laki 5 tahun yang sedang menangis di pojok warung karena es krim yang kumakan tumpah tertabrak seorang bocah yang badannya lebih besar dari aku. Tiba-tiba sebuah tangan mungil menyentuh bahuku, dan menyodorkan es krim yang belum dimakannya.
“ini makanlah…aku masih punya yang lain” ujar seorang gadis mungil berkuncir dua dengan pita kuning di kepalanya.
“terimakasih…” jawabku sambil mengambil es krim dari tangannya.
“namaku Daun Dini Putri Pertiwi…tapi aku biasa di panggil Dini” ujarnya lagi sambil mengulurkan tangannya padaku.
“aku Ichiki Bara Yudhistira…aku mau memanggilmu Daun saja, boleh ?” jawabku sambil membalas uluran tangannya. Gadis itu pun mengangguk setuju dan tersenyum, kami pun melanjutkan makan es krim berdua sambil tetap berpegangan tangan dan sesekali tersenyum satu sama lain.
Sejak itu kami berdua berteman, meski hanya berbeda usia. Daun begitu aku menyebutnya memang lebih muda setahun dari aku, namun dia tak pernah minder untuk berteman denganku. Kami berdua berangkat ke sekolah bersama, pulang bersama, dan akhirnya karena pada awal tahun ajaran sekolah menengah pertama kami ternyata masuk dalam kelas yang sama, Daun pun memilih untuk semeja dengan aku.
Rumahku dan rumahnya hampir berdekatan, yang membuat rumah kami agak terpisah hanyalah sebuah rumah tua tak berpenghuni dengan pekarangannya yang luas yang sering di pakai oleh anak-anak sebaya kami bermain bola dan semacamnya. Bahkan pekarangan itu sering juga digunakan untuk penyelenggaraan Hari Kemerdekaan di kampung kami.
Aku dan Daun sering bermain di dalam rumahnya, meski tua dan tak berpenghuni. Rumah itu sering di pakai warga untuk sesekali jika ada bencana banjir di kampung kami. Kebetulan rumahku, rumah Daun dan rumah tua itu berada di dataran yang agak lebih tinggi sehingga daerah kami sering di gunakan warga yang berada di dataran rendah untuk mengungsi. Saat kami menginjak tahun terakhir sekolah menengah aku dan Daun lebih sering memakainya untuk mengerjakan tugas bersama
Semua orang tahu kalau Daun hanya tinggal dengan ibunya. Menurut beberapa tetangga, ayah Daun bunuh diri dan meninggalkan Daun berdua ibunya dengan tuntutan hutang yang tidak sedikit, itu sebabnya rumah mereka di daerah perkotaan dijual dan mereka pindah ke kampung ini. Sementara aku, hanya tinggal bertiga dengan ibu dan kakak laki-lakiku yang sudah bekerja di sebuah pabrik kayu. Ibuku adalah seorang janda yang ditinggalkan ayahku karena menikah lagi. Mungkin karena merasa senasib ditinggal sosok ayah, aku dan Daun menjadi dekat.
***
“Ichiki,…kau akan melanjutkan sekolah kemana?” tanya Daun saat kami sedang santai membaca buku di rumah tua itu. Daun adalah satu-satunya gadis yang memanggilku dengan nama Ichiki, nama pemberian kakekku. Menurutnya, ketinggian tubuhku yang melebihi tinggi rata-rata teman-teman di kampung membuatku pantas dipanggil nama Ichiki yang artinya adalah pohon. Dan aku hanya bisa tersenyum menanggapi alasannya saat itu.“aku akan melanjutkan sekolah ke arsitektur, aku suka dengan konstruksi rumah ini. Membuatku nyaman… “ jawabku sambil terus menyelesaikan tugas Fisikaku.
“kalau begitu aku juga akan melanjutkan sekolah…” jawabnya. Aku menatapnya, tapi ternyata dia tetap asyik dengan bukunya.
“kau akan sekolah kemana?...” aku balik bertanya.
“yang pasti aku akan melanjutkan sekolah, yang dekat denganmu. Karena aku kan harus melindungimu” jawabnya sambil tersenyum dan melihat padaku. Mendengar jawaban Daun, mau tak mau aku ikut tersenyum. Betul, tinggi badanku tidak membuatku menjadi anak yang disegani teman-teman. Bahkan, predikat cengeng menempel erat dengan namaku. Sebaliknya Daun, yang perempuan lebih sering di sebut preman, karena sifatnya yang tangguh dan tidak gentar menghadapi siapapun. Bahkan sering beberapakali, Daun berkelahi dengan beberapa anak kampung hanya karena membela kepentinganku.
Aku sebenarnya bisa melawan, sesekali aku pun berkelahi. Namun, dengan adanya Daun perkelahian kami dengan anak-anak kampung, lebih sering menang dibandingkan jika aku berkelahi sendiri.
“Baiklah Daun, aku akan butuh sekali pengawalanmu….” ujarku menimpali alasannya. Kami berdua bersitatap dan akhirnya tertawa bersama
***
Menjelang ujian akhir sekolah menengah, aku dan Daun mulai mempersiapkan diri untuk melanjutkan sekolah di daerah kabupaten kota. Kampung kami kebetulan belum memiliki sekolah menengah tingkat atas yang memadai. Semua anak-anak seusia kami banyak yang tidak meneruskan sekolahnya karena biaya. Namun, tidak untuk ibuku dan ibu Daun, mereka berdua sangat mendukung kami untuk meneruskan sekolah.Ibuku khususnya dia menginginkan aku untuk terus sekolah karena dia tahu impianku yang ingin menjadi seorang arsitek. Meski kami tidak cukup berada, tapi aku tahu Ibu dan Kakak sering menyisihkan uang penghasilan mereka untuk biaya sekolahku, aku pun tidak mau kalah dengan mereka. Kemampuanku membantu beberapa orang tua teman membetulkan rumah mereka sesekali menjadi ladang penghasilan untukku. Memang tidak seberapa, tapi lumayan untuk sekedar menambah simpanan kuliahku.
***
3 tahun bersekolah di sekolah menengah atas di kabupaten kota berhasil kami lewati bersama-sama tanpa masalah yang berarti, kami pun juga berhasil masuk jurusan yang kami inginkan. Aku dengan teknik arsitektur yang sudah menjadi impianku, dan Daun dengan jurusan Hukumnya. Awal-awal perkuliahan, kami masih sering menyempatkan diri untuk bertemu. Namun, di tahun-tahun berikutnya aku dan Daun semakin sulit untuk sekedar meluangkan waktu. Meskipun kami berdua merasakan kesulitan itu, tapi kami tahu kalau kami masih bersahabat.Pada tengah tahun kedua perkuliahanku, aku mengenalkan seorang gadis pada Daun. Arumi namanya, seorang gadis yang sangat cantik, meski memang senyumnya tidak semanis senyum Daun. Tapi, aku menyukainya. Arumi adalah gadis ketiga yang kukenalkan pada Daun, dan gadis pertama yang kupacari di masa perkuliahan. Dua gadis sebelumnya adalah gadis yang kupacari di masa SMA. Ketika kuperkenalkan Arumi padanya, awalnya aku merasa tak ada yang berubah dengan Daun. Namun, lama kelamaan perilaku Daun berubah padaku.
“Arumi tidak baik untukmu ki,…” ucap Daun tiba-tiba padaku saat kami sedang bertemu di kantin kampus.
“Maksudmu?...” aku balik bertanya.
“dia hanya memanfaatkanmu, percayalah padaku…” jawab Daun sambil meminum teh manisnya.
“kamu bercanda kan?....kamu baru bertemu dia cuma 3 kali, dan kamu sudah berani bilang kalau Arumi tidak baik untukku?”
“aku hanya menggunakan naluriku sebagai temanmu, tidak lebih. Dan aku cuma menyampaikan apa yang kata hatiku bilang…”
“kita memang berteman Daun, tapi kamu tidak berhak apa pun dengan kehidupan pribadiku. Arumi adalah pacarku titik….dan kamu tidak berhak untuk menentukan dia baik atau tidak untukku…” jawabku tersinggung dengan ucapannya.
“aku melihatnya dengan lelaki lain sedang berciuman….” jawab Daun tiba-tiba padaku sambil memegangi lenganku saat aku hendak beranjak meninggalkannya. Seketika aku tersentak dan terdiam mencerna apa yang dikatakannya. Aku menoleh padanya, dia memandangiku dengan pandangan yang sungguh-sungguh.
“kau pasti salah…” bantahku.
“awalnya kupikir salah, tapi setelah kulihat sekali lagi…., itu Arumi, ki. Aku yakin”
“kamu pasti berbohong…Daun”
“kenapa kamu yakin aku yang membohongimu?...kita berteman sudah lama….dan kau malah membela Arumi yang baru kau kenal 4 bulan?...dia memanfaatkan kamu ki,….sadarlah” Daun kembali berargumen.
“ini hidupku Daun…..dan kamu tidak usah ikut campur dengan hidupku….”jawabku lagi sambil beranjak meninggalkannya. Dari jauh kudengar Daun meneriaki aku.
“Fine…!,….tapi jangan meratap ke aku seperti waktu es em a…kalau omonganku ternyata terbukti benar!!” sahut Daun, namun aku tak menoleh, dan aku pun tak ambil peduli dengan omongannya. Aku terus berjalan menuju ruangan fakultasku. Dan itu adalah pertengkaran pertama kami yang paling hebat.
***
Selang waktu berlalu, hubunganku dengan Daun tidak lagi seakrab dulu. Kadang kami cuma berpapasan dan hanya saling melihat dari jauh. Tak ada lagi pembicaraan kami yang sering kami lakukan kalau menunggu waktu kuliah. Hubunganku dengan Arumi pun akhirnya ikut berantakan saat aku memergokinya dengan seorang pria lain, ternyata Daun berkata benar. Arumi sudah mempermainkan aku. Kusadari kesalahanku memang sudah di luar batas pada Daun karena tidak mempercayai kata-katanya, dan aku menyesalinya. Namun, mencari Daun akhir-akhir sangat sulit sekali sementara aku mulai merindukan sosoknya untuk aku bercerita dan bergurau. Sampai suatu saat aku menerima sebuah sms…“Mas,…mas…pengantinnya mau memasuki ruangan akad” tegur seorang ibu padaku, membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menoleh padanya, dan dia menunjuk ke ujung dimana kulihat seorang gadis berdiri dengan anggun dan cantik. Semua yang hadir di situ sudah berdiri, dan aku pun akhirnya terpaksa berdiri.
Perlahan rombongan berjalan pelan melewati aku, gadis pengantin itu melihat padaku dan tersenyum memberikan senyumannya yang paling cantik dan paling membuat hatiku miris.
“thank you…” ucapnya pelan padaku saat gadis itu melewati aku yang sedang berdiri. Aku tak bisa menjawab apa-apa, hanya bisa tersenyum sebisa hatiku mengijinkannya. Kurasakan berat di dadaku belum hilang untuk melepasnya, karena ternyata satu-satunya gadis yang kusayangi dan tanpa kusadari aku sudah jatuh cinta padanya, akan menikahi seorang pria lain. Saat gadis itu perlahan berjalan menuju calon suaminya, tanganku masih menggenggam telepon genggamku yang masih bertuliskan sebuah pesan. Pesan yang belum terhapus dari seorang teman, gadis yang kini akan bersanding dengan yang lain….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar